Archive for Oct, 2017

Dari Bertani sampai Budaya

Penjelajahan wilayah sentral pertanian di Kecamatan Parigi – Moutong. Sejak tahun 2011 saya terjun lansung ke dunia pertanian sampai saat ini di tahun 2017, saya melihat bahwa kesuksesan pertanian di daerah Sulawesi Tengah terfokus di daerah pusat transmigrasi. Beberapa di antaranya adalah daerah Tolai, Kotaraya,  Sausu, dan Toili. Sementara daerah non-transmigrasi yang menjadi sentra pertanian hanyalah di sekitaran Soni-Bangkir dan sekitarnya.

Kemungkinan asumsi saya yang menjadi faktor pendukung kesuksesan adalah kulutr dari masyaraka itu sendiri. Sekali lagi saya katakan ini masih asumsi, belum berdasarkan hasil studi penelitian semisal survei langsung ke daerah tersebut. Namun asumsi ini bukan berarti tidak beralasan. Beberapa hal yang saya jadikan dasar pertimbangan saya adalah hasil pantauan dilapangan dan membandingkannya dengan daerah lain yang sebenarnya memiliki potensi wilayah yang sama namun sektor pertaniannya tidak berkembang. Contohnya daerah Sigi-Biromaru yang berada di jalur timur, khususnya Kec Marawola, Kab Ampana mulai dari Kec Tojo sampai Ampana Tete. Selain daerah transmigrasi yang saya sebutkan tadi, daerah-daerah lainnya belum ada yang menyaingi.

Ada satu wilayah yang non-transmigrasi yang sebutkan, yakni Soni-Bangkir dan sekitarnya. Nah coba kita telusuri, wilayah tersebut juga daerah pemukiman warga pendatang, bukan warga asli setempat. Mari kita cari daerah pertanian yang penduduk aslinya sukses bertani. Mungkin kita akan memasukkan desa Sibalaya yang berada di Kab Sigi, tapi anda tahu berapa luasannya? Hanya sekitar 300 ha, itu pun kita belum menghitung volume panennya dalam setahun, tentunya masih tertinggal jauh. Sebab kesadaran dan kemampuan budidayanya masih kalah jauh jika dibandingkan dengan warga transmigrasi.

Jika kita bandingkan lagi dengan propinsi tetangganya yang berada di bagian selatan, kita akan menemukan perbedaan yang signifikan. Dimana antusiasme warga lokal dalam membangun sektor pertaniannya sangat tinggi. Coba bayangkan jika daerah-daerah transmigrasi di wilayah Sulteng tadi kita keluarkan dari data pertanian Sulawesi Tengah, maka yang terjadi adalah warga Sulawesi Tengah akan defisit beras bahkan sampai terancam kelaparan. Bagaiman tidak mungkin terjadi, warga lokalnya hanya mengandalkan sektor perkebunan dan hutan saja. Sementara yang bertani untuk tanaman palawija dan hortikultura hanya sedikit dan itu pun masih menggunakan teknologi seadanya dan kadang sangat mengirit biaya produksi, kalo perlu tidak usah mengeluarkan biaya sedikit pun boleh jadi. Apalagi kalo berbicara tentang budiaya tanaman hortikultura. Dan yang saya ketahui, warga lokal yang membudidayakan komodity hortikultura hanya di wilayah Kec Labuan dan Kec Mepanga (sekitar Kotaraya). Akan tetapi, persentasenya lagi-lagi jauh jika dibandingkan dengan warga pendatang.

Jadi, sebagai salah satu warga keturunan masyarakat asliLembah Palu, saya menghimbau kepada seluruh sarara-sampesuvuku pura. Mari kita tingkatkan kualitas sumberdaya kita. Maaf, mungkin tulisan ini cederung berpaham chauvinisme, namun menurut saya ini penting dan bahkan hukumnya fardhu. Sebab jika tidak demikian, kita hanya akan menajdi penonton di rumah sendiri. Sungguh memilukan bukan?

Kita lihat saja nasib masyarakat melayu Singapura yang terpinggirkan oleh dominasi etnik pendatang, baik dari etnik Tionghoa, India, Arab dan Eropa. Populasi dan dominasi mereka di bidang ekonomi sangat luarbiasa. Warga lokal hanya menjadi jongos di kampung sendiri, bila ada yang menjadi bos di sektor bisnis mungkin hanya bisa di hitung dengan jari. Itupun hanya jari tangan saja, jari kaki tidak masuk hitungan, hehehe… Mudah-mudahan tidak sampai separah itu.

Tidak menutup kemungkinan hal demikian akan terjadi di tanah kita ini. Memang warga transmigrasi tersebut masih masuk dalam lingkup saudara sebangsa dan setanah air. Tapi sungguh sangat miris jika warga lokal hanya menjadi penonton di derahnya sendiri.

Bila hal itu terjadi, bisa jadi kebudayaaan serta kearifan lokal yang mestinya bisa kita eksplorasikan dan pertahankan di tanah sendiri akan terkikis habis oleh budaya dan kultur masyarakat yang berasal dari luar tanah ini.

Wah, diawali dari bicara soal pertanian sampai nyambung ke masalah budaya. Kelihatannya tidak nyambung, tapi begitulah keadaannya. Ketikahal-hal semacam ini luput dari perhatian kita, maka tak terasa nanti hal-hal besar pun akan berlalu tanpa kita sadari. Mungkin saja beberapa tahun kedepan anak-anak kita sudah tidak mempelajari bahasa lokal di bangku sekolah. Padahal bahasa merupakan warisan budaya yang perlu dilestarikan. Selain bahasa, pakaian, makanan, alat musik lokal pun akan hilang dan tidak akan pernah lagi diajarkan untuk anak keturunan kita, yang ada adalah generasi kita kehilangan identitas sejarah daerahnya. Saat ini pun sudah sangat terasa dimana dokumentasi dan sumber-sumber sejarah tanah ini mulai hilang. Untungnya sejarah kebudayaan kita masih terselamatkan dengan adanya situs megalitikum yang berada di Lembah Bada, Besoa, Napu (Kab. Poso) dan sebagiannya di Kab. Sigi.

Kalo bukan kita sediri yang menjaganya, siapa lagi?

Allah Maha Melihat

Sebagai seorang guru tasawuf, Syekh Atho’ Assilami sangat disegani oleh para muridnya. Meskipun hanya berjumlah tujuh orang, ada saja salah satu di antaranya yang menjadi kesayangan Syekh Atho’. Namanya Ibrahim. Dasar maslah hati, mau disimpan bagaimanapun kecintaan Syekh Atho’ pada Ibrahim tetap terbaca oleh keenam murid lainnya. Praktis, hal itu menimbulkan kecemburuan tersendiri di kalangan mereka.

Syekh Atho’ ternyata menyadari hal itu. Namun, ia pun juga tak ingin menimbulkan perselisihan dengan menjelaskan secara panjang lebar kelebihan Ibrahim dibanding teman seperjuangannya itu. Takut jikalau itu malah tidak objektif dan terlalu dilebih-lebihkan. Yang justru, nantinya malah akan meningkatkan rasa kecemburuan di antara mereka, para muridnya.

Akhirnya, Syekh Atho’ pun memiliki cara yang lebih elegan. Dipanggilnya ketujuh muridnya untuk diberi tugas. Ia berkata kepada murid-muridnya,

“Wahai anak-anakku. Sembelihlah ayam ini, namun jangan sampai ada siapa pun yang mengetahuinya. Siapa pun ia,” perintah Syekh Atho’ tegas.

Setelah kesemuanya menerima ayam dan sebilah pisau, ketujuh muridnya lalu dipersilakan untuk mencari tempat sesuka mereka. Tanpa pikir panjang dan tunggu lama, murid-murid itu pun bergegas mencari lokasi yang tepat, yang tersembunyi, yang—menurut mereka—tidak akan terlihat oleh siapa pun.

Tak selang beberapa lama, satu per satu murid Syekh Atho’ pun kembali dengan membawa ayam yang telah terpotong lehernya. Sambil berkata congkak bahwa mereka yakin tak ada siapa pun yang mengetahuinya.

Tetapi, setelah sekian lama, ada salah satu murid Syekh Atho’ yang tak kunjung kembali. Ya, ia adalah Ibrahim, murid kesayagannya. Semua temannya heran, mengapa ia begitu bodohnya mencari lokasi tersembunyi, batin teman-temannya. 

Berbeda dengan Syekh Atho’, ia justru tampak tenang sekali. Ternyata, beberapa saat kemudian Ibrahim kembali dengan ayam yang masih hidup. Tanpa pisau yang berdarah, dan ayam yang masih juga bersih.

Syekh Atho’ pun dengan bangga lantas bertanya, “Wahai Ibrahim, mengapa ayammu masih hidup? Bukankah aku perintahkanmu untuk menyembelihnya?”

“Maaf sang guru, bukannya saya hendak melawan perintah Anda. Namun, saya benar-benar tak bisa menyembelih ayam ini tanpa diketahui siapa pun. Bagaimanpun juga, saya tidak bisa mengingkari hati nurani saya bahwa di mana pun saya berada, Allah akan tetap melihat apa yang saya kerjakan,” jawab Ibrahim dengan lugunya.

Sontak, seluruh temannya tertunduk malu. Bagaimana mereka begitu yakin, jika tidak ada siapa pun yang melihat perlaku mereka. Padahal sang guru telah mendidik hatinya sedemikian rupa, agar mereka selalu menancapkan Allah dalam relung sanubari. 

Lewat kejadian itu pun, para murid akhirnya sadar mengapa sang guru begitu sayang terhadap Ibrahim. Dan sejurus dengan kesadaran mereka, Ibrahim lantas dipersilakan duduk di samping gurunya itu. Sedang Syekh Atho’ tanpa berkata apa pun, kembali terpejam dan melanjutkan dzikirnya. (Ulin Nuha Karim)

Kisah ini disarikan dari buku “Menuju Ketenangan Batin”, kumpulan karya tulis KH M Cholil Bisri (Kompas, 2008)  

Inilah 5 Hal yang Tidak Boleh Ibu Rumah Tangga Lakukan di Sosial Media

Inilah 5 Hal yang Tidak Boleh Ibu Rumah Tangga Lakukan di Sosial Media http://www.ummi-online.com/inilah-5-hal-yang-tidak-boleh-ibu-rumah-tangga-lakukan-di-sosial-media.html

  11 Oktober 2017, 11:24:21 WIBRubrik : Pasutri
  Ditulis Oleh Administrator Dibaca 12483 Kali

Inilah 5 Hal yang Tidak Boleh Ibu Rumah Tangga Lakukan di Sosial Media

Sahabat Ummi, sosial media saat ini sudah menjadi sesuatu yang pasti dimiliki oleh setiap orang yang terhubung ke internet, tak terkecuali ibu rumah tangga. 

Akan tetapi, selain manfaat yang diberikan, kita perlu mewaspadai hal negatif yang mungkin ditimbulkan dari interaksi di sosial media. Berikut ini beberapa hal yang tidak boleh dilakukan ibu rumah tangga di sosial media:

1. Curhat masalah rumah tangga

Banyak ibu rumah tangga yang terjebak melakukan curhat di akun sosial medianya. Padahal cara ini sangat mungkin mendatangkan keburukan di kemudian hari, minimal membuat orang sekitarnya tidak bersimpati padanya karena membuka aib diri sendiri.

Sebenarnya jika caranya tepat, curhat di sosmed masih bisa dilakukan. Misalnya dengan menyembunyikan identitas atau menyamarkan permasalahan:

“Saya punya teman yang suaminya blablabla, sebaiknya bagaimana ya menasihati suami seperti itu?”

Menyembunyikan identitas lebih baik daripada curhat, “Suami saya blablabla… mertua saya blablabla…”

2. Pamer kecantikan

Sebentar-sebentar upload foto selfie, upload ootd (outfit of the day), dengan tujuan untuk menangguk pujian dari followers.

Apa sih niat memperlihatkan foto selfie dan ootd cantik kita? Pamer kecantikan di depan suami malah malas, padahal berpahala, tapi pajang foto di sosmed rajin sekali, hal seperti ini perlu diwaspadai.

3. Pamer kemesraan

Mesra dengan pasangan hidup sendiri amat baik, tapi ketika kemesraan tersebut diposting ke ranah publik dengan begitu seringnya, justru berpotensi membawa akibat buruk untuk rumah tangga kita.

Banyak orang yang hasad atau iri, bahkan dengki sehingga ingin melenyapkan kebahagiaan orang lain. Tentunya kita tak ingin postingan kita di sosmed menjadi boomerang seperti ini.

4. Pamer anak

Hal bahaya lainnya yang banyak dilakukan oleh ibu rumah tangga di sosial media adalah memamerkan anak, baik kelucuannya maupun kerupawanan anak kita. 

Sayangnya, hal ini berisiko mendatangkan penyakit ‘ain:

Ibnul Atsir Rahimahullah berkata, “Dikatakan bahwa Fulan terkena ‘ Ain , yaitu apabila musuh atau orang-orang dengki memandangnya lalu pandangan itu mempengaruhinya hingga menyebabkannya jatuh sakit,” (An-Nihayah 3/332).
Sekilas ini terkesan mengada-ada atau sulit diterima oleh akal. Akan tetapi Rasulullah menegaskan bahwa ‘ain adalah nyata dan ada. Rasulullah bersabda, “Pengaruh ‘ain itu benar-benar ada, seandainya ada sesuatu yang bisa mendahului takdir, ‘ainlah yang dapat melakukannya,” (HR. Muslim).
Contoh kasus, foto anak yang lucu dan imut diposting di sosial media. Kemudian bisa saja terkena ‘ain. Anak tersebut tiba-tiba sakit, nangis terus dan tidak berhenti. Padahal sudah diperiksakan ke dokter dan tidak ada penyakit. Bisa juga gejalanya tiba-tiba tidak mau menyusui sehingga kurus kering tanpa ada sebab penyakit.
5. Membuli orang lain dengan kata-kata

Ibu rumah tangga juga sebaiknya tidak melayangkan status atau komentar negatif di sosial media, baik berupa kata-kata kasar, sindiran, makian, atau bentuk bulian lainnya.

Foto ilustrasi : Google